Jakarta (ANTARA) – Anggota Komisi X DPR RI Muhamad Nur Purnamasidi menegaskan komitmen panitia kerja (Panja) Pendidikan untuk Daerah Tertinggal, Terdepan dan Terluar (3T) dan Marginal, serta memastikan akses dan kualitas pendidikan yang merata hingga ke pelosok negeri.
“Panja ini dibentuk sebagai wujud komitmen DPR untuk memastikan pendidikan yang merata dan berkualitas dapat dirasakan oleh seluruh anak bangsa, termasuk yang berada di daerah terpencil,” kata Purnamasidi dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat.
Dia menjelaskan Panja Pendidikan untuk daerah 3T dan marginal memiliki tujuan strategis, di antaranya mengidentifikasi berbagai permasalahan pendidikan, merumuskan kebijakan yang efektif, serta memastikan implementasi program-program pemerintah di bidang pendidikan berjalan optimal di wilayah tersebut.
Dia juga menyoroti disparitas Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang masih menjadi tantangan besar. Dimana, IPM tertinggi dalam periode 2020–2023 dicatat oleh DKI Jakarta sebesar 84,15, sedangkan IPM terendah dicatat oleh Papua Pegunungan sebesar 54,43.
"Ketimpangan ini mencerminkan masih jauhnya pemerataan pembangunan manusia, khususnya dalam hal pendidikan," ucapnya.
Dia menilai salah satu tantangan utama di daerah 3T dan marginal adalah ketimpangan tenaga kependidikan.
Adapun persoalan guru, kata dia, menjadi masalah multidimensi yang tidak hanya menyangkut keterbatasan jumlah, tetapi menyangkut kualitas, ketidakmerataan distribusi, hingga kesejahteraan yang belum memadai.
“Kesejahteraan guru, khususnya di wilayah 3T dan marginal, masih menjadi pekerjaan rumah. Diperlukan insentif khusus, tunjangan lebih tinggi, jaminan keamanan, tempat tinggal, hingga akses layanan kesehatan agar guru berkualitas mau mengabdi di sana,” tuturnya.
Dia juga menyinggung perlunya reformasi kebijakan anggaran pendidikan, mengingat ketimpangan di wilayah 3T bersifat struktural dan multidimensional.
Dia mendorong adanya penataan ulang distribusi mandatory spending pendidikan sebesar 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) agar lebih tepat sasaran.
“Selain mandatory spending anggaran pendidikan 20 persen, diperlukan alokasi anggaran afirmatif dan berkelanjutan untuk benar-benar memutus mata rantai ketertinggalan pendidikan di daerah 3T dan marginal,” ujarnya.
Lebih lanjut, dia menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat, termasuk aktor non-pemerintah, termasuk dibutuhkan komitmen politik yang kuat dan terkoordinasi untuk menciptakan kebijakan pendidikan yang afirmatif, inklusif, serta mampu menjawab kebutuhan lokal.
“Pendidikan di wilayah 3T dan marginal bukan hanya soal infrastruktur dan guru, tetapi juga harus disertai kurikulum yang adaptif terhadap realitas lokal masyarakat setempat,” katanya.
Dengan berbagai rekomendasi dan dorongan dari Panja Pendidikan untuk Daerah 3T dan Marginal, dia berharap pembangunan pendidikan di wilayah 3T dapat berlangsung secara merata dan berkeadilan sesuai dengan cita-cita UUD RI Tahun 1945.
Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.