Hari Waisak adalah perayaan penting bagi umat Buddha di seluruh dunia. Hari suci ini memperingati 3 peristiwa agung dalam kehidupan Sang Buddha, yaitu kelahiran, pencerahan, dan parinibbana (wafat). Bagi banyak orang, Waisak bukan sekadar seremoni keagamaan, tetapi juga sebagai momentum renungan, evaluasi diri, dan peneguhan nilai-nilai luhur seperti pengendalian diri, kebijaksanaan, dan welas asih.
Tahun ini, Waisak jatuh pada tanggal 12 Mei 2025, bertepatan dengan tahun Buddhis 2589 BE. Adapun tema nasional yang diangkat dalam perayaan Waisak kali ini adalah “Tingkatkan Pengendalian Diri dan Kebijaksanaan, Wujudkan Perdamaian Dunia.” Tema ini sangat relevan dengan tantangan kehidupan modern, khususnya dalam era digital yang sangat kompleks.
Di tengah gempuran notifikasi, banjir informasi, dan budaya scrolling tanpa akhir, banyak orang mulai kehilangan koneksi dengan momen-momen kehidupannya. Kesehatan mental terganggu, relasi menjadi dangkal, dan kedamaian batin semakin sulit diraih. Dalam konteks inilah, ajaran Buddha tentang mindfulness atau kesadaran menjadi sangat penting. Praktik ini tidak hanya relevan dalam meditasi, tetapi juga bisa menjadi kunci dalam membentuk hubungan yang lebih sehat dengan media sosial.
Salah satu pilar utama dalam ajaran Buddha adalah pengendalian diri, kemampuan untuk tidak larut dalam keinginan yang tak berujung dan menahan diri dari perilaku impulsif. Di era digital, tantangan ini semakin berat. Kita hidup dalam lingkungan yang dirancang untuk mencuri perhatian, yang dimana algoritma media sosial terus mendorong konten yang bersifat sensasional, emosional, atau menghibur secara instan.
Kebiasaan doomscrolling, rasa takut tertinggal (FOMO), dan kecanduan validasi digital (melalui likes dan komentar) merupakan gejala nyata dari kehilangan kendali. Akibatnya, banyak orang merasa kelelahan secara emosional dan mental, meskipun hanya duduk atau rebahan menatap layar.
Menghadapi ini, praktik mindfulness dapat membantu kita mengembalikan kesadaran pada setiap tindakan digital kita. Kita bisa memulai dengan melakukan digital detox, mengatur waktu khusus untuk tidak mengakses media sosial, dan melatih diri menjadi lebih sadar saat sedang online.
Selain pengendalian diri, kebijaksanaan juga menjadi tema utama Waisak 2025. Dalam ajaran Buddha, kebijaksanaan bukan hanya soal pengetahuan intelektual, tetapi tentang memahami realitas dengan jernih dan bertindak untuk kebaikan bersama.
Salah satu bentuk kebijaksanaan adalah ucapan benar – berbicara dengan jujur, sopan, dan membangun. Di dunia maya, di mana kata-kata mudah ditulis namun sulit ditarik kembali, sehingga prinsip ucapan benar menjadi sangat penting. Ujaran kebencian, debat tanpa ujung, dan penyebaran hoaks telah menjadi racun yang merusak kualitas ruang digital kita.
Dengan mindfulness, kita bisa menyaring sebelum membagikan: Apakah ini benar? Apakah ini bermanfaat? Apakah ini akan menyakiti orang lain? Jika tidak memenuhi ketiganya, maka lebih baik kita diam.
Media sosial juga bisa menjadi sarana menyebarkan nilai-nilai positif – sepertinya halnya Festival Lampion Waisak di Candi Borobudur yang melambangkan penyebaran cahaya Dharma ke segala penjuru. Kita pun bisa menjadi “lampion digital” dengan membagikan konten yang memberi harapan, mengedukasi, atau sekadar menghadirkan senyuman.
Bayangkan jika lebih banyak orang menerapkan mindfulness dalam interaksi online, mulai dari komentar yang lebih ramah, debat yang lebih sehat, dan ruang digital menjadi tempat mendukung pertumbuhan dan empati. Ini bukanlah utopia, melainkan sesuatu yang bisa diwujudkan melalui langkah kecil dan konsisten.
Welas asih, nilai penting lainnya dalam ajaran Buddha, bisa diterjemahkan dalam komunikasi digital sebagai rasa hormat terhadap perbedaan, kesediaan untuk mendengarkan, dan ketenangan dalam menanggapi kritik. Kita bisa melihat contoh dari komunitas yang mempraktikkan ini, misalnya kelompok diskusi daring yang mengedepankan tata krama, atau individu yang secara sadar membatasi unggahan untuk menjaga autentisitas dan kedamaian diri.
Dalam dunia yang semakin terhubung, perdamaian dunia tidak hanya dimulai dari diplomasi internasional, tetapi juga dari cara kita saling memperlakukan satu sama lain, termasuk di ruang digital. Waisak 2025 memberi kita ajakan yang mendalam untuk merenung dan bertindak: bagaimana kita bisa mengembalikan kesadaran dan kebijaksanaan dalam hidup, termasuk dalam dunia digital yang kita jalani setiap hari. Kita bisa memulai dari hal-hal sederhana: tidak langsung membuka media sosial saat bangun tidur, melatih diri untuk tidak terpancing emosi di kolom komentar, atau sekadar bertanya pada diri sendiri, “Apakah ini perlu aku bagikan?”
Dengan menerapkan nilai-nilai Waisak – pengendalian diri, kebijaksanaan, dan welas asih – kita bisa menciptakan dunia digital yang lebih damai, sehat, dan manusiawi. Mindfulness bukan sekadar konsep spiritual, tetapi juga strategi hidup yang sangat relevan untuk menjawab tantangan zaman.
Referensi:
[1] https://www.strategi.id/budaya/10415107681/hari-raya-waisak-2025-tanggal-berapa-cek-jadwal-dan-makna-perayaannya
[2] https://www.detik.com/jogja/berita/d-7909617/hari-raya-waisak-2025-berapa-be-ini-tema-rangkaian-acara-dan-jadwalnya
Kontributor : Joanne Landy Tantreece
Editor : Joko Suhariyanto, S.E.,M.M., CPOD
#kuliahonline
#kampusonline
#kuliahfullonline
#kampussiber
#kampusdigital
#unsia
#UNSIA
#UNSIANews
No responses yet