Presiden Pabowo menghindarkan Indonesia dari jebakan zero-sum game dan berhasil memosisikan negeri ini sebagai mitra strategis dalam tatanan global yang makin multipolar.

Jakarta (ANTARA) – Diplomasi bukan soal siapa yang paling lantang, tapi siapa yang paling digugu dan dihormati.

Prabowo tak banyak bicara. Namun, saat ia datang, peta berubah dan dunia mendengarkan.

Di tengah gelombang proteksionisme global yang makin menguat, terutama setelah Presiden AS Donald Trump berencana menerapkan tarif tinggi terhadap berbagai negara, banyak mitra dagang Amerika mulai limbung. Negara-negara eksportir besar di Asia dan Eropa menghadapi lonjakan bea masuk yang mengancam keberlanjutan industri mereka.

Ketika sebagian pemimpin dunia bereaksi gugup terhadap langkah Trump, Indonesia memilih jalur yang berbeda. Tanpa kecaman emosional atau keluhan terbuka, Presiden Prabowo langsung bekerja. Ia menyiapkan strategi diplomatik yang tegas, mengutamakan kepentingan nasional di atas panggung retorika.

Hasilnya bukan sekadar wacana. Presiden Prabowo Subianto justru mendapat pengakuan langsung dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Bukan dari juru bicara, bukan dari dokumen bocor, tapi dari mulut sang pemimpin negara adidaya.

“Kesepakatan besar baru saja dibuat dengan Indonesia. Saya berurusan langsung dengan presiden mereka yang sangat dihormati,” ujar Trump dalam pernyataannya, Selasa (15/7).

Inilah bentuk paling nyata dari diplomasi yang bekerja dalam diam. Saat banyak negara gagal menyelamatkan diri dari hantaman tarif proteksionis, Indonesia justru berhasil menjalin "deal besar" yang diumumkan langsung oleh Trump. Itu bukan sekadar kesepakatan dagang, melainkan validasi bahwa Indonesia kini dipandang sebagai kekuatan ekonomi dan mitra strategis yang diperhitungkan, bahkan oleh pemimpin paling keras sekalipun.

Memang, bagi sebagian pihak, penjelasan Trump bahwa Indonesia akan memberikan akses penuh ke produk dan investasi AS, sementara AS “tidak membayar apa pun” dan Indonesia tetap dikenai tarif 19 persen, tampak berat sebelah. Namun jika dibaca secara lebih cermat, kesepakatan ini bukan bentuk menyerah. Ia adalah kompromi strategis, bargain jangka panjang yang membuka ruang negosiasi lanjutan, sekaligus menghindarkan benturan yang bisa melukai kepentingan nasional.

Istilah “akses penuh” yang diucapkan Trump sebetulnya juga bukan berarti Indonesia membuka pintu tanpa syarat. Akses yang dimaksud merupakan bagian dari kerja sama yang saling menguntungkan, dalam kerangka kendali nasional yang kuat. Apalagi, tambang emas dan tembaga Freeport di Papua misalnya, sekarang mayoritas dikuasai oleh Indonesia melalui holding BUMN. Jadi, ini bukan soal obral, tapi justru bentuk penguatan kontrol dan leverage dalam negosiasi global.

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.