dalam penulisan sejarah yang digagas oleh Kemenbud sudah melalui proses yang terbuka dan profesional. Ada partisipasi masyarakat, ada pelibatan akademisi, sejarahwan. Nggak perlu alergi, nggak perlu parno juga

Denpasar (ANTARA) – Ketua Komisi XIII DPR RI Willy Aditya menanggapi pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon tentang soal perkosaan massal pada peristiwa kerusuhan 13-14 Mei 1998.

Saat dijumpai di Denpasar, Bali, Kamis, Willy yang menjadi ketua di komisi XIII DPR RI yang salah satunya membidangi HAM mengatakan pernyataan Menbud soal peristiwa perkosaan massal tahun 1998 itu lumrah dalam hal interpretasi terhadap sejarah.

Dia mengatakan tafsir sejarah itu tidak tunggal, namun dirinya tidak menyangkal ada hasil temuan perkosaan massal tersebut.

“Ada masalah interpretasi atau tafsir, kadang-kadang kita mengambil sepotong-sepotong, tapi secara prinsipil pernah terjadi, kita harus akui ada fakta dan pengakuan, bahkan ada TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta),” katanya.

Dirinya menyatakan berdasarkan temuan Komnas HAM, memang perkosaan massal tahun 1998 adalah fakta sejarah.

Namun demikian, Willy ingin fakta tersebut tidak diperdebatkan.

"Kami Komisi XIII DRP-RI melihat apa yang sudah terjadi kita juga tidak dalam rangka mengungkit-ungkit, tetapi kita melihat bagaimana sesuatu hal yang telah terjadi dan kita belajar dari hal-hal itu," katanya.

Saat ditanya terkait ada upaya untuk tidak memasukkan peristiwa tersebut sebagai pelanggaran HAM masa lalu dalam kopendium sejarah yang sedang digarap Kementerian Pendidikan, Willy memandang penulisan sejarah yang dibuat sekarang sudah melalui proses yang terbuka, melibatkan sejarah dan ahli yang kompeten dalam bidangnya.

Dia menilai penulisan ulang sejarah merupakan hal biasa yang dilakukan negara-negara di dunia.

"Itu suatu hal yang biasa saja, semua negara melakukan itu tinggal metodologi saja, karena banyak hal yang terus berkembang dan mendapatkan temuan-temuan baru," katanya.

Menurut dia, dalam penulisan sejarah yang digagas oleh Kemenbud sudah melalui proses yang terbuka dan profesional.

"Ada partisipasi masyarakat, ada pelibatan akademisi, sejarahwan. Nggak perlu alergi, nggak perlu parno juga. Jangan menyangkal niat-niat baik yang dilakukan tinggal kita sama-sama," katanya.

Pewarta: Rolandus Nampu
Editor: Edy M Yakub
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.